Judul Buku : Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi
Penulis : Prof. Dr. Ni'matul Huda SH., M. Hum dan M. Imam Nasef, S.H., M. H
Penerbit : Kencana
Cetakan : Pertama, Februari 2017
Tebal : 292 halaman
Harga : 79.500
ISBN : 978.602.422.047-1
Pemilu dan Perjalanan Demokrasi di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami amandemen sebanyak empat kali di awal reformasi menjadi bukti bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi yang konstitusional. Hal ini seperti disarikan dari bunyi pasal 1 ayat (3) dan (2) bahwa status ketatanegaraan Indonesia adalah berasaskan hukum dan berkedaulatan rakyat.
Buku ini mengawali pembahasannya dengan penegasan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik. Hal ini berdasar pada survei publik oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI) yang menunjukkan bahwa sebanyak 70 % responden setuju bahwa sistem demokrasi lebih baik dari bentuk pemerintahan manapun.
Berlakunya sistem demokrasi di Indonesia sendiri ditandai dengan adanya pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan secara langsung, jujur, rahasia, dan adil. Hal ini sebagaimana tercantum dalam perubahan ketiga UUD 1945 pada pasal 22E ayat satu hingga lima, yang berbunyi: (1). Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali; (2). Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); (3). Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik; (4). Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan; (5). Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Menurut Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef dalam buku ini, menyatakan bahwa demokrasi merupakan asas yang paling baik dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Hal ini sejalan dengan laporan Studi UNESCO di awal tahun 1950 –an yang mengungkapkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan yang menolak demokrasi sebagai landasan sistem paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik modern.
Sementara itu, buku ini juga menyinggung tentang dasar sistem pemerintahan Indonesia yang menurut Undang-Undang 1945 ialah sistem presidensial. Sistem ini perlu diturunkan secara konsisten ke dalam pengaturan kebijakan sistem kepartaian, pemilu legislatif, dan pemilu presiden.
Selain bicara soal sistem penyelenggaraan secara umum, buku ini juga menyinggung soal Lembaga Penyelenggara Pemilu yang dalam roda demokrasi tentu saja menjadi yang paling disorot. Ada kalanya Bawaslu dan KPU dipandang mampu menjadi penyelenggara pemilu. Namun di sisi lain, independensi dua lembaga ini sering dinilai kurang optimal. Meski demikian, dengan dibentuknya lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diharapkan mampu menjadi penyeimbang yang bisa menyempurnakan penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Bicara soal lain, dua lembaga negara yakni TNI dan POLRI ternyata juga tidak lepas dari sorotan. Meski tidak memiliki hak pilih selama dalam keanggotaan sesuai UU Pemilu, namun penulis berharap agar hal ini ditinjau ulang hanya agar tidak mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada setiap orang.
Selain menyoroti penyelenggaraan pemilu, buku ini juga secara spesifik menyinggung soal pemilihan Presiden di Indonesia yang dinilai kurang demokratis. Terlihat dari mekanisme pengajuan calon yang hanya mengakomodasi usulan dari partai politik saja. Padahal idealnya, pengajuan calon presiden juga mestinya melalui jalur lain yang lebih partisipatif. Penulis mengkritisi bahwa perlu dibuat dua jalur dalam mekanisme pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Yaitu, melalui partai politik dan jalur independen (perseorangan). Hal ini demi mengedepankan nuansa pemilihan yang lebih demokratis dengan pertarungannya yang lebih kompetitif serta pilihan yang lebih variatif.
Hal penting lainnya yang jadi sorotan dalam buku ini adalah terkait dengan agenda recall anggota legislatif. Dimana seringkali, anggota legislatif lebih mengutamakan kepentingan partai politik dibandingkan dengan aspirasi masyarakat yang menjadi konstituennya. Terlebih, partai pengusung yang seolah masih memiliki kewenangan mutlak untuk memberlakukan politik balas budi. Hal ini seperti terjadi pada beberapa kasus anggota legislatif yang mendapatkan pengajuan pemberhentian oleh partai politik yang mengusungnya. Dalam hal ini, penulis mencontohkan kasus Lily Chodijah Wahid dan Efendi Choiri yang harus mendapatkan pengajuan diberhentikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lantaran berbeda pandangan. Atas dasar itulah, penulis merekomendasikan agar ketentuan recall ditinjau kembali.
Berpindah ke pemilihan kepala daerah yang juga turut disinggung dalam buku ini. Bahwa dari sejak Pilkada pertama kali digelar tahun 2001, tercatat Undang-undang telah berganti beberapa kali. Dalam UU No 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Pilkada dilakukan oleh DPRD. Lima tahun kemudian dibatalkan dengan terbitnya UU No 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pilkada dipilih langsung oleh rakyat. Sepuluh tahun kemudian, undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah ada revisi UU No. 22 tahun 2014 yang mengisyaratkan bahwa Kepala Daerah dipilih kembali oleh DPRD. Saat itu, UU ini pun akhirnya mendapatkan penolakan keras dari berbagai pihak hingga memaksa presiden SBY mengeluarkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No. 1 tahun 2014 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No 1 Tahun 2015 dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2015.
Secara singkat, buku ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi yang mana perlu dilakukan penataan ulang dan perbaikan pada berbagai aspek. Banyak hal teknis masih memerlukan perhatian seperti integritas penyelenggara pemilu, sistem penyelenggaraannya, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang diajukan pihak yang berkeberatan.
Secara khusus, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, ada tiga poin utama yang tersampaikan dengan baik kepada pembaca di buku ini. Yaitu, pertama, pelembagaan penyelenggara pemilu yang masih kurang ideal sehingga perlu adanya perbaikan dan penguatan. Kedua, sistem penyelenggaraan pemilu yang kurang demokratis khususnya pada pemilihan presiden yang hanya membuka calon dari Partai Politik, dan ketiga, penyelesaian sengketa pemilu yang seringkali terlalu birokratis dan akhirnya tidak tuntas.
Dari sekian persoalan pemilu yang diangkat, pembahasan seputar Sumber Daya Manusia sebagai subjek utama memang belum muncul dalam buku ini. Hal inilah yang juga disayangkan oleh beberapa kalangan akademisi terhadap buku ini. Padahal, persoalan kurang optimalnya penyelenggaraan pemilu tidak hanya terdiri dari sistem dan mekanisme saja, namun juga ada pelaku/subjek yang harus dinilai integritasnya.
Dalam buku ini, penulis dinilai seperti tidak memberikan pandangan idependen mengenai isu yang dibahas. Penulis hanya mencantumkan pandangan dari berbagai pakar sehingga kurang mengena untuk sebagian pembaca khususnya kalangan akademisi. Meski begitu, secara umum buku ini sudah sangat bagus dan saya rekomendasikan untuk dibaca oleh siapapun yang menginginkan wawasan baru seputar pemilu dan penyelenggaraannya.
(Ditulis oleh: Rofik Nur Sholeh, S.T | Anggota Panwascam Sempor Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga)